Seiring meningkatnya adopsi alat bantu AI seperti GitHub Copilot, ChatGPT, dan CodeWhisperer dalam dunia software engineering, muncul fenomena baru yang dikenal sebagai “vibe coding”—yaitu menulis kode tanpa memahami sepenuhnya bagaimana atau mengapa kode itu bekerja, hanya karena “terasa benar”. Istilah ini kini digunakan untuk mengkritisi pendekatan coding berbasis asumsi atau prompt semata tanpa evaluasi mendalam.
Namun, AI bukan musuh developer. Justru sebaliknya: AI dapat menjadi mitra yang sangat kuat jika digunakan secara sadar, strategis, dan didampingi oleh proses kerja yang baik. Artikel ini membahas cara mengoptimalkan workflow developer dengan AI sambil menghindari jebakan “vibe coding” melalui pendekatan yang kami sebut praktik anti‑vibe coding.
Apa Itu Vibe Coding dan Mengapa Berbahaya?
Vibe coding adalah kondisi di mana developer:
- Mengandalkan hasil AI tanpa mengevaluasi logika atau keamanan
- Menempelkan kode dari ChatGPT tanpa mengujinya
- Tidak memahami dependensi, flow data, atau side-effect dari hasil AI
- Terjebak dalam asumsi bahwa “kalau bisa dijalankan, berarti benar”
Dampaknya:
- Kode tidak maintainable
- Potensi bug tersembunyi dan masalah performa
- Kurva pembelajaran rendah untuk developer
- Kegagalan scaling dalam proyek nyata
Praktik Anti‑vibe Coding: Kolaborasi Cerdas dengan AI
Alih-alih melarang penggunaan AI, pendekatan terbaik adalah menggunakannya dengan sadar. Berikut adalah strategi untuk menjaga kualitas sambil tetap memanfaatkan AI:
1. Validasi Selalu: Jangan Percaya Buta
- Uji output AI dengan unit test dan skenario nyata
- Tanyakan: apakah kode ini scalable? aman? readable?
2. Gunakan AI sebagai Pair Programmer, Bukan Penulis Utama
- Mulai dari ide Anda, minta AI membantu menyusun kerangka, bukan sebaliknya
- Tulis pseudocode dulu, baru generate implementasinya
3. Pelajari dari Output AI
- Jangan langsung copy-paste
- Telusuri dokumentasi atau sumber pustaka yang digunakan AI
4. Batasi Penggunaan untuk Task Rutin atau Boilerplate
- Form generator, pengaturan routing, atau scaffolding dasar
- Jangan gunakan AI untuk logika bisnis utama tanpa review
5. Integrasi ke Dalam Review dan CI
- Gunakan AI untuk code suggestion saat PR, bukan di production langsung
- Pastikan AI diintegrasikan ke workflow CI/CD hanya sebagai validator, bukan eksekutor utama
Studi Kasus: Refactor Komponen Form
Skenario:
Seorang developer ingin memperbaiki form validasi login dan menggunakan ChatGPT untuk menghasilkan kode validasi email dan password.
Vibe Coding:
- Copas kode tanpa memahami regex
- Tidak tes edge-case (e.g., email kosong, password panjang)
- Tidak menangani kesalahan render di komponen
Anti-vibe Coding:
- Gunakan AI untuk menyarankan validasi standar
- Teliti regex dan sesuaikan dengan kebutuhan
- Buat unit test untuk input edge-case
- Refactor kode agar reusable dan dapat diuji
Hasil:
- Kode lebih robust
- Developer paham alur validasi dan komponen
- Kualitas rilis lebih tinggi dan scalable
Rekomendasi Tools dan Workflow
Tool | Fungsi |
---|---|
GitHub Copilot | Saran kode saat mengetik |
ChatGPT | Referensi, ide, debugging ringan |
Codium / Cody | Pair programming berbasis repo |
ESLint + Prettier | Otomatisasi pengecekan sintaks |
Jest / Vitest | Unit testing hasil output AI |
Kesimpulan
AI adalah asisten yang luar biasa jika Anda tahu cara mengendalikannya. Praktik anti‑vibe coding bukan berarti anti‑AI, melainkan pro-kualitas dan pro-pembelajaran. Kolaborasi manusia dan AI yang ideal justru akan menghasilkan kode yang:
- Lebih cepat ditulis
- Lebih aman dan teruji
- Lebih mudah dipelihara
Karena pada akhirnya, AI tidak akan menggantikan developer, tetapi developer yang tahu cara bekerja dengan AI akan menggantikan yang tidak.